Laporan Keuangan

EBITDA / Laba Sebelum Bunga, Pajak, Depresiasi, dan Amortisasi

  • Oleh: Admin Tes
  • Diunggah 23 Desember 2020

EBITDA, atau laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi, adalah ukuran kinerja keuangan perusahaan dan digunakan sebagai alternatif laba bersih dalam beberapa keadaan. Meskipun demikian, EBITDA dapat menyesatkan karena menghilangkan biaya investasi modal seperti properti, pabrik, dan peralatan.

EBITDA tidak memasukkan komponen hutang dengan cara menambahkan bunga dan pajak ke dalam komponen pendapatan. Meskipun demikian, EBITDA adalah ukuran kinerja perusahaan yang lebih tepat karena mampu menunjukkan pendapatan sebelum pengaruh pemotongan akuntansi dan keuangan.

Secara sederhana, EBITDA adalah ukuran profitabilitas. Meskipun tidak ada persyaratan hukum bagi perusahaan untuk mengungkapkan EBITDA mereka, menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum di Amerika Serikat (‘Generally Accepted Accounting Principles’ atau GAAP), EBITDA dapat dihitung dan dilaporkan menggunakan informasi yang ditemukan dalam laporan keuangan perusahaan.

Komponen pendapatan, pajak dan bunga dapat ditemukan dalam laporan laba rugi, sedangkan angka depresiasi dan amortisasi biasanya ditemukan dalam catatan laba operasi atau laporan arus kas. Cara paling mudah untuk menghitung EBITDA adalah menghitung laba operasi-yang disebut juga sebagai laba sebelum bunga dan pajak (‘Earning before Interest and Tax’ atau EBIT) dan kemudian menambahkan kembali depresiasi dan amortisasi.

 

Formula Perhitungan EBITDA

EBITDA dihitung secara lugas, dengan informasi yang mudah ditemukan di laporan laba rugi dan neraca perusahaan

EBITDA = Pendapatan Bersih + Bunga + Pajak + Depresiasi + Amortisasi

Atau

EBITDA = Laba Operasi + Beban Depresiasi + Beban Amortisasi

EBITDA dan Pembeli Terutang (Leveraged Buyout atau LBO)

EBITDA pertama kali menjadi terkenal pada pertengahan 1980-an saat investor pembelian terutang memeriksa perusahaan-perusahaan dengan kondisi buruk/tertekan (distressed company) yang membutuhkan restrukturisasi keuangan. Mereka menggunakan EBITDA untuk menghitung cepat apakah perusahaan-perusahaan ini dapat membayar kembali bunga atas kesepakatan yang dibiayai ini.

Bankir pembelian terutang menggunakan EBITDA sebagai alat untuk menentukan apakah perusahaan dapat melunasi hutangnya dalam waktu dekat, dalam satu atau dua tahun. Dengan mengetahui rasio antara EBITDA dengan bunga dari perusahaan, investor mendapatkan gambaran apakah perusahaan tersebut dapat memenuhi pembayaran bunga yang lebih besar setelah restrukturisasi. Misalnya, bankir mungkin berpendapat bahwa perusahaan dengan EBITDA Rp5.000.000,00 dan beban bunga Rp2.500.000,00 memiliki nilai dua kali bunga dan ini lebih dari cukup untuk melunasi hutang.

EBITDA adalah metrik yang populer di tahun 1980-an untuk mengukur kemampuan perusahaan melunasi hutang yang digunakan dalam pembelian terutang. Menggunakan ukuran laba yang terbatas sebelum perusahaan sepenuhnya dimanfaatkan dalam pembelian terutang adalah keputusan yang tepat. EBITDA semakin populer ketika terjadi gelembung internet (silakan cari dot com bubble), dimana perusahaan memiliki aset dan beban utang yang sangat mahal dan yang mengaburkan apa yang analis dan manajer sebut sebagai angka pertumbuhan yang sah.

Penggunaan EBITDA

EBITDA telah digunakan dalam berbagai bidang bisnis. Para pendukung berpendapat bahwa EBITDA menawarkan refleksi operasi yang lebih jelas dengan menghilangkan biaya yang dapat mengaburkan kinerja perusahaan yang sesungguhnya.

Pada dasarnya, EBITDA adalah pendapatan bersih (atau pendapatan) yang ditambahkan kembali dengan bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi. EBITDA dapat digunakan untuk menganalisis dan membandingkan profitabilitas perusahaan dan industri, karena menghilangkan efek pembiayaan dan pengeluaran modal. EBITDA sering digunakan dalam rasio penilaian dan dapat dibandingkan dengan nilai dan pendapatan perusahaan.

Beban bunga dan (pada tingkat yang lebih rendah) pendapatan bunga yang ditambahkan kembali ke dalam pendapatan bersih menetralkan biaya hutang, sebagaimana efek pembayaran bunga terhadap pajak. Pajak penghasilan juga ditambahkan kembali ke laba bersih, yang tidak selalu meningkatkan EBITDA jika perusahaan memiliki rugi bersih. Perusahaan cenderung menyorot kinerja EBITDA mereka ketika mereka tidak memiliki laba bersih yang sangat mengesankan (atau bahkan positif). Ini tidak selalu berkonotasi negatif, tetapi kadang dapat digunakan untuk mengalihkan investor dari kurangnya profitabilitas sesungguhnya.

Perusahaan menggunakan akun depresiasi dan amortisasi untuk membebankan biaya properti, pabrik dan peralatan, atau investasi modal. Amortisasi sering digunakan untuk biaya pengembangan perangkat lunak atau kekayaan intelektual lainnya. Inilah salah satu alasan mengapa perusahaan riset dan teknologi tahap awal menampilkan EBITDA saat berkomunikasi dengan investor dan analis.

Tim manajemen akan berpendapat bahwa menggunakan EBITDA memberikan gambaran yang lebih baik tentang tren pertumbuhan laba ketika akun pengeluaran yang terkait dengan modal dikecualikan. Meskipun tidak ada yang ‘menyesatkan’ tentang penggunaan EBITDA sebagai metrik pertumbuhan, EBITDA terkadang dapat menutupi kinerja dan risiko keuangan aktual perusahaan.

Kelemahan EBITDA

EBITDA tidak termasuk dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum sebagai ukuran kinerja keuangan, sehingga perhitungan EBITDA dapat bervariasi dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Tidak jarang perusahaan mengutamakan EBITDA dibandingkan laba bersih karena nilainya lebih fleksibel dan dapat mengalihkan perhatian dari area masalah lain dalam laporan keuangan.

Poin penting yang perlu diperhatikan investor adalah ketika perusahaan mulai melaporkan EBITDA secara mencolok padahal perusahaan tersebut tidak pernah melakukannya. Kondisi ini dapat terjadi ketika perusahaan telah meminjam banyak atau mengalami peningkatan pembiayaan untuk modal dan pengembangan. Dalam keadaan ini, EBITDA dapat menjadi gangguan bagi investor dan mungkin dapat menyesatkan.

1. Abaikan Biaya Aset

Kesalahpahaman yang umum terjadi adalah EBITDA mewakili pendapatan tunai. Sebenarnya, tidak seperti arus kas bebas, EBITDA justru mengabaikan biaya aset. Asumsi bahwa profitabilitas adalah fungsi dari penjualan dan operasi saja - hampir seolah-olah aset dan pembiayaan yang dibutuhkan perusahaan untuk bertahan hidup dianggap sebagai hadiah menjadi salah satu kritik paling umum terhadap EBITDA.

2. Abaikan Modal Kerja

EBITDA juga tidak menghitung uang tunai yang dibutuhkan untuk mendanai modal kerja dan penggantian peralatan lama. Sebagai contoh, perusahaan mungkin dapat menjual produk untuk mendapatkan keuntungan, tetapi apa yang digunakan untuk memperoleh inventaris yang diperlukan untuk mengisi jalur penjualannya? Dalam kasus perusahaan software, EBITDA tidak menghitung biaya pengembangan versi software saat ini atau produk yang akan datang.

3. Memvariasikan Titik Awal

Mungkin mengurangi pembayaran bunga, biaya pajak, depresiasi, dan amortisasi dari pendapatan tampak cukup sederhana, namun perusahaan menggunakan angka pendapatan yang berbeda sebagai titik awal untuk EBITDA. Dengan kata lain, EBITDA rentan terhadap permainan akuntansi pada komponen pendapatan yang ditemukan di laporan laba rugi. Bahkan jika kita memperhitungkan distorsi yang diakibatkan oleh bunga, perpajakan, depresiasi, dan amortisasi, kita tidak dapat mengandalakn angka pendapatan dalam EBITDA.

4. Mengaburkan Penilaian Perusahaan

Bagian terburuk adalah EBITDA dapat membuat perusahaan terlihat lebih murah dibandingkan yang kondisi sebenarnya. Jika analis melihat kelipatan harga saham EBITDA dibandingkan laba bottom-line hal tersebut akan menghasilkan kelipatan yang lebih rendah.

Sebagai contoh, operator telekomunikasi nirkabel Sprint Nextel. Pada 1 April 2006, saham dijual pada kelipatan 7,3 kali EBITDA perkiraannya. Nilai kelipatan tersebut mungkin terlihat rendah namun tidak berarti perusahaan itu murah. Sebagai kelipatan dari perkiraan laba operasi, Sprint Nextel dijual pada kelipatan 20 kali lebih tinggi. Perusahaan itu dijual pada kelipatan 48 kali perkiraan laba bersihnya. Investor perlu mempertimbangkan kelipatan harga selain EBITDA ketika menilai perusahaan.

Keterbatasan EBITDA

EBITDA menambah kembali biaya depresiasi dan amortisasi ke dalam laba operasi perusahaan. Analis biasanya mengandalkan EBITDA untuk mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dari penjualan saja dan untuk membuat perbandingan dengan seluruh perusahaan serupa yang memiliki struktur modal yang berbeda. EBITDA adalah ukuran non-GAAP dan terkadang dapat digunakan dengan sengaja untuk mengaburkan kinerja laba riil suatu perusahaan. Karena masalah ini, EBITDA ditampilkan lebih menonjol oleh perusahaan yang masih dalam tahap perkembangan atau perusahaan dengan beban hutang besar dan/atau aset mahal.

Sebagian besar reputasi pengukuran EBITDA yang terkadang buruk disebabkan oleh penggunaan yang tidak tepat. Sama seperti sekop yang efektif untuk menggali lubang, tidak menjadikan sekop alat terbaik untuk mengencangkan sekrup atau memompa ban. Begitu pula dengan EBITDA, tidak boleh digunakan sebagai satu cara pengukuran untuk semua kasus dan secara mandiri digunakan untuk evaluasi profitabilitas perusahaan. Poin ini menjadi sangat valid ketika seseorang menganggap bahwa perhitungan EBITDA tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP).

Seperti ukuran lainnya, EBITDA hanyalah satu indikator. Untuk mengembangkan gambaran lengkap tentang kesehatan perusahaan tertentu, banyak hal harus dipertimbangkan. Jika mengidentifikasi perusahaan besar semudah memeriksa satu angka, semua orang akan memeriksa angka tersebut, dan pekerjaan analis profesional akan lenyap.

 

Artikel Terkait

Artikel Terbaru