Pada artikel sebelumnya dijelaskan bahwa EBITDA, atau laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi, adalah ukuran kinerja keuangan perusahaan dan digunakan sebagai alternatif laba bersih dalam beberapa keadaan. Meskipun demikian, EBITDA dapat menyesatkan karena menghilangkan biaya investasi modal seperti properti, pabrik, dan peralatan.
EBIT (pendapatan sebelum bunga dan pajak) adalah laba bersih perusahaan sebelum beban pajak penghasilan dan beban bunga telah dikurangkan. EBIT digunakan untuk menganalisis kinerja operasi inti perusahaan di luar beban pajak dan biaya struktur modal yang mempengaruhi laba. Rumus perhitungan EBIT adalah sebagai berikut:
EBIT = Pendapatan Bersih + Beban Bunga + Beban Pajak
Karena laba bersih termasuk pengurangan beban bunga dan beban pajak, kedua komponen tersebut perlu ditambahkan kembali ke dalam laba bersih untuk menghitung EBIT. EBIT sering disebut sebagai pendapatan operasional karena keduanya tidak memasukan komponen pajak dan beban bunga dalam perhitungannya. Namun, ada kalanya pendapatan operasional bisa berbeda dengan EBIT.
Laba sebelum pajak (EBT) mencerminkan berapa banyak laba operasi yang telah direalisasikan sebelum memperhitungkan pajak, sedangkan EBIT tidak memasukkan komponen pajak dan pembayaran bunga. EBT dihitung dengan mengambil laba bersih dan menambahkan pajak kembali untuk menghitung laba perusahaan.
Dengan menghilangkan kewajiban pajak, investor dapat menggunakan EBT untuk mengevaluasi kinerja operasi perusahaan setelah menghilangkan variabel di luar kendalinya. Di Amerika Serikat, hal ini berguna untuk membandingkan perusahaan yang mungkin memiliki pajak negara bagian atau pajak federal yang berbeda. EBT dan EBIT serupa satu sama lain dan keduanya merupakan variasi EBITDA.
Karena depresiasi tidak dicatat dalam EBITDA, hal ini dapat menyebabkan distorsi laba bagi perusahaan dengan jumlah aset tetap yang cukup besar dan selanjutnya menimbulkan biaya depresiasi yang besar. Semakin besar biaya depresiasi, maka semakin besar pula nilai EBITDA.
Perbedaan EBITDA dan Arus Kas Operasi
Arus kas operasi adalah ukuran yang lebih baik untuk melihat berapa banyak kas yang dihasilkan perusahaan karena menambahkan biaya non tunai (depresiasi dan amortisasi) kembali ke dalam laba bersih dan termasuk perubahan modal kerja yang juga menggunakan atau menyediakan kas (seperti perubahan piutang, hutang, dan persediaan).
Faktor modal kerja ini adalah kunci untuk menentukan berapa banyak kas yang dihasilkan perusahaan. Jika investor tidak memasukkan perubahan modal kerja dalam analisis mereka dan hanya mengandalkan EBITDA, mereka akan kehilangan petunjuk yang memperlihatkan apakah suatu perusahaan sedang berjuang dengan arus kas karena tidak menagih piutangnya.
Contoh Penggunaan EBITDA
Sebuah perusahaan ritel menghasilkan pendapatan Rp100.000.000 dan menghasilkan Rp40.000.000 untuk biaya produksi dan Rp20.000.000 untuk biaya operasional. Beban depresiasi dan amortisasi berjumlah Rp10.000.000, menghasilkan laba operasi Rp30.000.000. Beban bunga adalah Rp5.000.000, yang setara dengan pendapatan sebelum pajak sebesar Rp25.000.000. Dengan tarif pajak 20%, laba bersih sama dengan Rp20.000.000 setelah dikurangkan pajak Rp5.000.000 dari pendapatan sebelum pajak. Jika depresiasi, amortisasi, bunga, dan pajak ditambahkan kembali ke laba bersih, EBITDA sama dengan Rp40.000.000.
EBITDA = Laba Bersih + Beban Bunga + Pajak + Amortisasi Depresiasi
EBITDA = Rp 20.000.000 + Rp 5.000.000 + Rp 5.000.000 + Rp 10.000.000
EBITDA = Rp 40.000.000
Banyak investor menggunakan EBITDA untuk membuat perbandingan antar perusahaan dengan struktur modal atau yurisdiksi pajak yang berbeda. Dengan asumsi bahwa dua perusahaan sama-sama menguntungkan berdasarkan EBITDA, perbandingan seperti ini dapat membantu investor mengidentifikasi perusahaan yang tumbuh lebih cepat dari perspektif penjualan produk.
Sebagai contoh, bayangkan dua perusahaan dengan struktur modal berbeda tetapi bergerak di bisnis serupa. Perusahaan A memiliki EBITDA Rp20.000.000 dan Perusahaan B memiliki EBITDA Rp17.500.000. Seorang analis sedang mengevaluasi kedua perusahaan untuk menentukan mana perusahaan yang memiliki nilai paling menarik.
Dari informasi yang disajikan sejauh ini, masuk akal jika mengasumsikan bahwa Perusahaan A harus dijual pada nilai total yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan B. Namun, setelah biaya operasional depresiasi dan amortisasi, beban bunga dan pajak ditambahkan kembali perbedaan kedua perusahaan menjadi lebih jelas.
Perusahaan A |
Perusahaan B |
|
EBITDA |
Rp20.000.000 |
Rp17.500.000 |
Amortisasi depresiasi |
-Rp2.000.000 |
-Rp2.500.000 |
Beban bunga |
-Rp8.000.000 |
-Rp5.000.000 |
Pajak |
-Rp2.000.000 |
-Rp2.000.000 |
Laba bersih |
Rp8.000.000 |
Rp.8.000.000 |
Dalam contoh ini, kedua perusahaan memiliki laba bersih yang sama karena Perusahaan B memiliki akun beban bunga yang lebih kecil. Ada beberapa kemungkinan temuan yang dapat membantu analis menggali lebih dalam tentang nilai sebenarnya dari kedua perusahaan ini:
Mungkinkah Perusahaan B meminjam lebih banyak sehingga terlihat meningkatkan EBITDA dan laba bersih? Jika perusahaan kurang memanfaatkan kemampuannya untuk meminjam, ini bisa menjadi sumber pertumbuhan dan nilai potensial.
Jika kedua perusahaan memiliki jumlah utang yang sama, mungkin Perusahaan A memiliki peringkat kredit yang lebih rendah dan harus membayar bunga yang lebih tinggi. Ini menunjukkan risiko tambahan dibandingkan dengan Perusahaan B dan nilai yang lebih rendah.
Berdasarkan jumlah depresiasi dan amortisasi, Perusahaan B menghasilkan EBITDA lebih sedikit dengan aset lebih banyak daripada Perusahaan A. Hal ini dapat mengindikasikan tim manajemen yang tidak efisien dan masalah penilaian Perusahaan B.
Pertanyaan yang sering diajukan
1. Bagaimana Menghitung EBITDA?
Anda dapat menghitung EBITDA menggunakan informasi dari laporan laba rugi, laporan arus kas, dan neraca perusahaan. Rumusnya perhitungan EBITDA adalah sebagai berikut:
EBITDA = Pendapatan Bersih + Bunga + Pajak + Depresiasi + Amortisasi
2. Bagaimana Bentuk EBITDA yang Baik?
EBITDA adalah ukuran kinerja keuangan dan profitabilitas perusahaan, sehingga EBITDA yang relatif tinggi jelas lebih baik daripada nilai EBITDA yang lebih rendah. Perusahaan dengan ukuran yang berbeda di berbagai sektor dan industri memiliki kinerja keuangan yang sangat bervariasi. Oleh karena itu, cara terbaik untuk menentukan apakah EBITDA suatu perusahaan "baik" adalah dengan membandingkan nilai EBITDA dengan perusahaan sejenis — perusahaan dengan ukuran dan bergerak di industri, serta sektor yang sama.
3. Apa itu Amortisasi dalam EBITDA?
Dalam aspek EBITDA, amortisasi adalah teknik akuntansi yang digunakan untuk menurunkan nilai buku aset tidak berwujud secara berkala selama periode waktu tertentu. Amortisasi dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan.
Diunggah {{ article.formatted_published_at }}